Selonong Boi

Jika diperhatikan dengan seksama sinetron-sinetron Indonesia, ada satu hal yang acap kali mengusik seonggok daging dalam tengkorak saya. Rasanya hampir tidak pernah melihat adegan orang melepas alas kakinya ketika memasuki rumah. Asik selonong boi saja. Baik itu dengan setting cerita di rumah orang kaya yang mewah, maupun di rumah yang sedehana.

Okelah sinetron memang bukan acuan yang ideal untuk gambaran kehidupan masyarakat. Bagaimana dengan film? Film-film Indonesia sekarang makin marak dan kualiatasnya mulai membaik, tetapi nyatanya tidak jauh beda. Hal serupa juga dipertontonkan, di film “Emak Ingin Naik Haji” Reza Rahardian santai saja ber-sandal ria di rumahnya yang kecil & sederhana, sandal yang sama yang dipakainya di adegan-adaegan lain di luar rumah.

Saya jadi bertanya-tanya sendiri, apa mungkin adab membuka alas kaki memasuki rumah ini hanya ada pada budaya daerah lokal saya saja? Apakah di daerah-daerah lain di Indonesia berbeda? Apakah di Jakarta (tempat mayoritas sinetron & film dibuat) tidak berlaku adab sepert ini?

Namun berdasarkan pengalaman, saya pernah masuk rumah-rumah orang di Bukittingi, Padang, Jambi, Pekanbaru, Jakarta, Bandung, Jogja, Solo dll, tidak pernah sekalipun saya temui/disuruh/dipersilahkan masuk rumah dengan tetap menggunakan alas kaki.

Iya memang tak sedikit juga yang pakai sandal di dalam rumah, tapi biasanya itu memang disiapkan khusus untuk di rumah saja, bukan alas kaki yang sama yang dipakai dari luar, seperti kebiasaan orang di Jepang, Korea, dll. Atau dengan kondisi tertentu, ibu saya juga menggunakan sandal dalam rumah karena tidak tahan dengan dinginnya lantai keramik. Banyak orang-orang tua lain juga demikian.

Ini memang remeh temeh, tapi detil-detil kecil semacam ini jitu menunjukkan kultur kita kepada orang lain. Di film, drama dan acara TV Jepang dan Korea, hal ini sering kali dikasih lihat, yang membuat iri bagaimana mereka sebegitu rapi dan tertata. Sebagai media yang terbukti ampuh mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup sehari-hari, alangkah kerennya jika sinetron, film dan acara-acara TV di Indonesia juga mempertontonkan remeh temeh kultur yang mendidik seperti ini.

Pemandangan yang cukup membahagiakan ketika beberapa waktu yang lalu mengunjungi adik bungsu saya yang kini mondok di pesantren, waktu shalat di masjid alas kaki para santri tersusun rapi dengan ujungnya yang seragam mengarah keluar. Walaupun tidak serapi & se-njelimet orang-orang Jepang, tapi sudah lumayan bagus.

Remeh temeh yang baik untuk dibiasakan, disebarluasakan & lebih sering dipertontonkan di layar kaca.

Ignorancia

Semalam Ama mengajak kami shalat tarawih di tempat lain, biar ada variasi. Hal yang dulu juga sering dilakukan dengan almarhum Apa pada Ramadan terdahulu. Kali ini kami shalat di masjid yang sedikit lebih fancy dari surau dekat rumah. Begitu juga dengan ceramahnya yang bertema lebih mendalam, menyesuaikan dengan demografi jamaahnya. Ceramah membahas tentang hadist-hadist yang berkaitan dengan hari akhir.

Ceramah dimulai dengan sindiran terhadap gaya ustad di televisi yang dipenuhi dengan gimmick-gimmick pencari rating. Saya mengangguk-agguk secara imajiner, menyerukan kesepahaman. Kepala saya antusias mendongak ke atas, karena ustad yang satu ini berpotensi menambah wawasan baru keagamaan yang menarik & membuat rasa kantuk tidak sanggup muncul ke permukaan. Setengah jalan dilalui saya begitu menikmati ceramah tersebut, bahkan setiap hadist yang dibahas dikasih tahu sumbernya, halaman berapa, alternatif referensi online-nya, hingga harga bukunya segala hahaha :D.

Tapi kemudian ada momen saya harus mengerinyitkan dahi, ketika pak ustad tersebut becerita tentang sebuah kisah seorang muslim China yang datang dari Korea. Mungkin maksudnya dia orang China tapi tinggal di Korea. Tapi besar dugaan saya pak ustad ini sedikit ignorant terhadap geografi dunia, menganggap Korea bagian dari China. Karena beberapa saat kemudian dia juga menceritakan tentang seorang tokoh penghafal hadist belajar lama di Bucharest, di Rusia katanya, lho bukannya Bucharest  itu di Rumania, gimana sih Tad? 😕 . Cuma hal kecil remeh temeh sih, tapi cukup membuyarkan semangat saya mengikuti ceramah dengan khidmat.

Apalagi dia menutup ceramahnya dengan hal yang membuat saya jadi ilfeel. Menggiring opininya menyerempet masalah politik tentang isu basi propaganda kristenisasi dengan agendanya menguasai Indonesia tahun 2019. Tahu sendiri lah siapa yang disindir, itu loh orang Belitung yang sekarang lagi duduk di DKI-1. Orang-orang penjaga makam yang dulu pernah mendapat bantuan pergi umrah dari gubernur Jakarta juga ikut dikatain “Kok mau-maunya dikasih orang kafir?”

Sangat malas jika ustad sudah berbicara tentang hal-hal yang tidak begitu ia kuasai, apalagi disuarakan dengan nada percaya diri, kadang juga sedikit sombong atas opini subjektifnya di depan orang banyak. Seperti masalah konflik Syria yang sering juga disinggung para ulama. Menhitam-putihkan masalah di sana pada level kasar muslim vs kafir atau Sunni vs Syiah.

Pada dasarnya, siapa sih yang suka orang sok tahu? :/

21 Sopir Pesawat

Inilah band barat yang paling saya gandrungi beberapa tahun belakangan, twenty one pilots. Kalau ditanya muda-mudi penyuka musik barat saat ini saya yakin 75% tahu tentang band ini, karena mereka memang lagi in banget lewat lagu Stressed Out. Tapi saya mengenal mereka jauh sebelum mereka sepopuler sekarang, jumlah views mereka di Youtube juga masih sedikit saat itu. Pertama kali dengar & lihat lagu mereka yang berjudul Holding On to You, menarik. Tapi yang menyemen ketertarikan saya dan mengulik lebih dalam tentang mereka  ialah lagu Car Radio.

Band ini cuma beranggota 2 orang. Yang satu main drum, satunya lagi vokalisnya yang sekaligus pegang piano, organ, keyboard kecil yang entah apalah namanya itu, ukulele, bass, tamburin, dll. Genre musiknya campur-campur, ada rock, pop, electronica, hiphop, reggae, dll. Jika ditanya fans hardcore sekalipun tentang genre spesifik, mereka juga pasti bingung, atau mungkin dijawab “genrenya ya twenty one pilots”. Jawaban tipikal ala anak band biasanya biar terlihat keren :P.

Liriknya sangat puitis, bukan dalam artian mendayu-dayu romantis, lagu mereka kebanyakan bukan bertema cinta. Puitis dalam artian kompleksitas dan keunikan pemilihan kata, rima, tema, metafora yang apik yang dibungkus dalam melodi yang enak. Yang jelas saat membaca liriknya bikin kita berpikir sendiri jauh lebih dalam, berusaha menempatkan diri di dalamnya. Kadang melebihi maksud dari si pembuat lagunya sendiri. Contohnya tengok komentar di video Car Radio, banyak yang menulis interpretasi panjang mereka sendiri-sendiri. Padahal Tyler Joseph (vokalis) pernah bilang, kalau dulu radio mobilnya memang pernah dimaling orang :D.

Penampilan live mereka mungkin salah satu yang terbaik saat ini. Walau cuma bisa menyaksikan lewat Youtube, tapi energinya memang terasa sekali. Konser yang bakal bikin baju basah karena keringat. Mungkin yang tidak suka adalah orang yang memang malas lompat-lompat, sing a long saat konser, atau yang gampang emosi jika terkena sikutan kecil, lalu komplain bikin esai panjang setelah itu.

Saat album mayor kedua mereka, Blurryface keluar, dengan lagu pertama Fairly Local. Rasanya agak kurang sreg, karena menggunakan efek-efek suara khas hiphop mainstream yang kurang saya senangi. Tapi lama-kelamaan setelah diputar berkali-kali seluruh albumnya, tetap masih bagus saja. Pesan-pesan liriknya juga masih kuat. Lagu Stressed Out jadi terkenal sekali, bikin band ini jadi populer, tapi bukan favorit saya di album ini walaupun liriknya yang “My name’s Blurryface and i care what you think…” masih suka tergumam sendiri. Yang paling saya suka adalah HeavyDirtySoul dan We Don’t Believe What’s on TV

Asyik lihat mereka bawa lagu ini, ketika si drummer Josh Dun tiba-tiba berdiri main terompet, walau cuma 1-2 tiup :mrgreen:

Mereka penganut agama Kristen yang lumayan taat. Cukup berbeda dengan para muda-mudi artis barat yang banyak memilih ateis. Ya tahu sendiri lah banyak yang menganggap agama adalah paham kuno, banyak mendatangkan masalah, sengketa dan perang. Ateisme sudah semacam atribut yang mengekor kultur pop kekinian terutama di negara-sah maju. Ya sah-sah saja itu pilihan, hidup mereka ya mereka yang menetukan sendiri. Hak masing-masing.

Jadi cukup fresh ketika melihat orang-orang yang cukup religius digandrungi oleh massa yang sebagian besar mulai menafikan hal tersebut. Pesan religi memang tersirat dalam beberapa lirik mereka. Tidak spesifik dan gamblang, tapi lebih umum pada hubungan manusia dengan penciptanya, sehingga orang beragama lain pun bisa relate. Seperti saya ini yang beragama Islam.

Kartini? Rohana Kudus Did It Better

Tulisan ini pernah saya post di tempat lain setahun yang lalu, sekarang saya angkat ke sini.

Setiap tanggal 21 April jadi hari untuk apresiasi emansipasi wanita nasional. Diskusi dan bacaan tentang kesetaraan gender berserakan dimana-mana. Para wanita sibuk ber-kebaya ria, entah apa relevansinya dengan emansipasi wanita, lebih kepada euforia dan gimmick saja Continue reading